Analisis Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft

Analisis Jurnalistik dan Sastra/Jurnalistik Sastrawi 

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft
Oleh Chik Rini

Judul yang dipilih sangat menggambarkan apa yang dikisahkanSebuah Kegilaan di Simpang Kraft. “Kegilaan” yang dimaksud dalam kisah ini ialah konflik antara tentara dengan warga sipil di Aceh. Chik Rini menggunakan kata gantu orang ketiga, mereka dan dia, Mereka menandatangani kesepakatan bahwa tentara tak akan masuk kampung lagi”, “Dia harus bekerja keras membuat laporan sebanyak mungkin…” Kisah ini juga memuat beberapa informasi seperti alasan “ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)” berganti nama menjadi “TNI (Tentara Nasional Indonesia)”.

Awalnya terjadi bentrokan karena pada dasarnya warga tidak menyukai kehadiran tentara di desa mereka. Tapi, secara diam-diam tentara masuk yang akhirnya diketahui oleh warga. Kemudian warga menyatukan suara untuk berdeminstrasi di depan Koramil. Di tengah aksi unjuk rasa itu, tiba-tiba peluru melayang di atas kepala warga. Tak sedikit orang yang terkena peluru-peluru tersebut. Ketika peluru tersebut mengenai warga dijelaskan bahwa ada telinga sebelah kiri salah satu warga terkena peluru hingga berlubang. Kemudian digambarkan ketika peluru itu memecah kepala seorang anak kecil hingga isi kepalanya berhamburan. Ketika membacanya, pembaca seakan-akan berada di lokasi kejadian, melihat kejadian itu secara langsung. Dari sepenggal penjelasan itulah dapat disebut sebagai kegilaan.

ALUR kisah ini menggunakan alur maju (progresif). Chik Rini menuliskannya secara runtut, sesuai dengan tahapan waktu yang terjadi atau kronologis. Hal ini terbukti dengan tahapan alu dalam cerita yang dimulai dengan tibanya tiga orang wartawan pada dini hari 3 Mei 1999, yakni Umar HN, Imam Wahyudi, dan Fipin Kurniawan. Mereka wartawan RCTI yang ditugaskan meliput ke Lhokseumawe, Aceh. Kemudian ia menjelaskan secara rinci situasi Aceh pada saat itu.

KONFLIK mulai muncul saat hilangnya Sersan Dua Aditia, anggota bintara Arhanud Rudal yang markasnya hanya berjarak sekitar lima kilometer dari Cot Murong. Ia hilang pada saat mengawasi ceramah politik di lapangan sepak bola Cot Murong. Keesokan harinya, 31 April 1999 pagi, puluhan tentara bersenjata lengkap, masuk ke Cot Murong. Mereka dari Arhanud Rudal. Mereka masuk ke kampung Cot Murong untuk mencari Sersan Aditia. Orang-orang kampung resah melihat patroli tentara. Mereka trauma melihat orang berbaju loreng hijau membawa senjata.

Tahap klimaks cerita dimulai dengan Azhari yang sarapan di sebuah warung mendengar percakapan warga bahwa di Krueng Geukeuh atau di Simpang Kraft dan sekitarnya ada massa, tepatnya di depan Komando Rayon Militer (Koramil) Aceh. Lalu ia mengajak teman-temannya untuk menuju lokasi kejadian. Di jalan mereka bertemu sopir labi-labi (angkutan kota) trayek Krueng Geukeuh. Dari si sopir mereka melakukan verifikasi kalau memang ada pencegatan massa di sana. Pada akhirnya, massa pun bubar akibat dari berondongan peluru yang ditembakkan dari truk yang datang dari Arhanud Rudal. Awalnya, tembakan itu hanya untuk membubarkan massa. Namun, akhirnya memakan korban.

Penyelesaian dari kisah ini, seluruh rekaman gambar Fipin dan Ali Raban telah tayang di televisi nasional dan luar negeri. Sebelumnya, setelah terjadinya peristiwa “kegilaan” itu, mereka pergi ke rumah sakit Cut Mutia untuk mendata jumlah korban sebagai bahan pemberitaan.

KARAKTER/TOKOH:
1.      Umar H. Nurdin, populer sebagai Umar H.N., adalah koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995. Umurnya sudah kepala empat. Tubuhnya tegap. Wajah sangat khas Aceh, rahang keras, berkumis tebal, rambut keriting, dan berkulit hitam. Perokok berat.
 
2.      Imam Wahyudi adalah koordinator liputan daerah RCTI Jakarta. Tugasnya mengatur koresponden-koresponden daerah. Pria berumur 34 tahun ini sudah bekerja di RCTI sejak 1994. Imam bertubuh kecil, tapi sangat gesit di lapangan. Imam orang ramah. Tapi dia cerewet terhadap para korespondennya kalau mereka salah dalam mengambil gambar atau reportase. Datang ke Aceh adalah keinginannya sejak lama, karena belum sekali pun dia menginjakkan kakinya ke daerah ini.

3.      Fipin Kurniawan, seorang pria yang agak pendiam. Tubuhnya jangkung, kurus, berhidung mancung, dan berkulit putih. Dia suka memakai kacamata hitam sehingga ada orang-orang yang menduganya kamerawan televisi luar negeri. Fipin sudah sembilan tahun jadi kamerawan RCTI. Dulu dia pernah ke Aceh ketika bekerja di salah satu rumah produksi.

4.       Sersan Dua Aditia. Dia anggota bintara Arhanud Rudal yang markasnya hanya berjarak sekitar lima kilometer dari Cot Murong. Aditia banyak bergaul dan memiliki banyak akses dengan masyarakat di situ. Ia adalah orang yang dikabarkan hilang saat mengawasi ceramah politik di lapangan sepak bola Cot Murong.
 
5.      Dewantara Marzuki Muhammad Amin, seorang camat.

6.      Santun Pakpahan, komandan Arhanud Rudal berpangkat Mayor.

7.      Teungku Hanafiah, seorang ulama setempat, diutus ke Cot Murong untuk mencari si sersan hilang. Tapi seharian itu, dia gagal mendapat kabar keberadaan Aditia.

8.      Azhari adalah asisten koresponden kantor berita Antara di Aceh. Dia baru tujuh bulan bekerja sebagai wartawan. Umurnya 32 tahun. Azhari orang yang selalu berhati-hati dan cenderung penakut. Sebagai wartawan baru, dia ditugaskan di tempat berbahaya. Dia harus bekerja keras membuat laporan sebanyak mungkin, karena dia dibayar berdasarkan jumlah berita yang dibuatnya.

9.      Ali Raban adalah kamerawan yang bekerja untuk Umar. Ali tak punya ikatan kerja langsung dengan RCTI. Ali membantu Umar sejak 1995 ketika RCTI mengudara pertama kali di Lhokseumawe. Ali Raban kamerawan yang nekat kalau di lapangan, sering mengabaikan keselamatan jiwa dan kurang perhitungan. Ali seorang yang berpenampilan sederhana. Umurnya sekitar 25 tahun. Dia ayah seorang bayi yang baru dua bulan lahir.

10.  Faisal. Faisal masih muda, berhidung mancung dan berkulit hitam. Dia memakai jaket parasut hitam sepanjang lutut yang warnanya telah kusam. Faisal memakai topi hitam dililit pita putih. Dia memegang megafone. Faisal tertembak kakinya. "Di situ Faisal memperlihatkan pada saya segenggam peluru yang ternyata disimpan dalam kantong jaketnya," kata Marzuki. Kepada Marzuki, Faisal mengaku dari Gerakan Aceh Merdeka. Faisal menghilang dari rumah sakit sebelum orang-orang mendatanya. Selang beberapa bulan, Faisal menemui Marzuki di kantornya. Faisal minta maaf kepada Marzuki. Sejak itu Marzuki tak pernah lagi melihat Faisal.

11.  Seorang anak kecil yang meminta untuk diangkat oleh ibunya agar terlihat di depan kamera. Ia memegang botol Aqua 600 mililiter, isinya tak sampai seperempat botol. Lalu, ketika diminta Ali Raban ia memberikannya. Anak kecil ini tewas tertembak saat terjadi “kegilaan” di Simpang Kraft, kepalanya bolong.

12.  dr. Mulya Hasjmy, pemimpin rumah sakit, tak bebas bicara ketika Imam mewawancarainya. Ada yang mengikuti mereka sejak di rumah sakit. Seorang pemuda bertopi taliban.

Comments

Menarik

Makalah Proses Komunikasi

Pencetakan E-KTP Massal

Review: Individualist Ms. Ji-Young