Kurang Inisiatif Jadi Budaya


Ilustrasi. Foto : Gallery Google

Kurang Inisiatif Jadi Budaya

Seorang pengusaha dari Connecticut, Amerika, Bo Bennett, mengatakan, “Tanpa inisiatif, pemimpin hanyalah pegawai yang diberi jabatan untuk memimpin.”

“Ada yang ingin coba mengerjakan di depan?”, “Ada yang ingin jadi ketua?”, “Ada yang dapat menggantikan saya dulu?”, “Ada yang bersedia memimpin rapat?”, “Ada yang ingin membacakan untuk semua?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut rasanya tentu pernah kita dengar. Tapi, biasanya berapa banyak sih yang mau merespons pertanyaan di atas dengan “Ya, saya mau!” atau tunjuk jari? Jujur, di budaya kita masih belum umum kalau orang berebut tunjuk jari mau jawab satu pertanyaan, apalagi kalau itu tidak ada hadiahnya. Biarpun tahu atau “sepertinya” tahu jawabannya, ada rasa ragu untuk menjawab. Pikiran “Bagaimana kalau salah?”, “Bagaimana kalau saya ditertawakan karena salah?”, hingga “Nanti disangka sombong atau sok pinter lagi,” kerap muncul dan jadi alasan kita tidak mau berinisiatif mencoba.

Saat di kelas pun, tak jarang dosen bertanya, “Siapa yang ingin maju lebih dulu?” namun, jarang sekali ada mahasiswa yang langsung merespons. Alasannya, “Karena kalau saya itu cenderung ngeliat satu orang dulu dia itu seperti apa, baru apa yang dia lakukan, saya improve, jadi bisa lebih baik lagi,” ujar Hendrik, mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Jakarta. Alasan serupa juga dilontarkan oleh Ishak, mahasiswa Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Politeknik Negeri Jakarta, “Karena yang pertama maju, belum tentu hasilnya lebih baik.”

Jika demikian, orang pertamalah yang kita jadikan sebagai standarisasi kita untuk jadi lebih baik. Padahal alangkah baiknya jika kita yang jadi patokan bagi orang lain. “Haha, sebenarnya bagus juga sih jadi patokan buat orang-orang. Cuman mungkin dalam diri sendiri ada rasa sedikit tidak percaya diri gitu, maksudnya takut salah. Cuma, inisiatif untuk jadi yang terdepan, pasti ada,” ungkap Hendrik.

Mau jadi pemimpin? Pada dasarnya, itu tidak selalu tentang kecerdasan atau semacamnya, tapi ini tentang inisiatif. Orang yang memiliki inisiatif, yang mau bertindak (positif) tanpa disuruh, akan punya pengalaman, pengaruh, dan juga kemahiran lebih dari yang hanya gerak kalau disuruh (SpiritNext Edisi Maret 2017). Tapi, bagaimana dengan mahasiswa di kelas? “Eh.., rata-rata males,” aku Ishak.

Demikian halnya dalam menolong. Seringkali kita mengabaikan orang yang membutuhkan pertolongan, karena tidak adanya inisiatif untuk mengambil peran sebagai penolong. Tak jarang kita pun berpikir bahwa akan ada orang yang akan menolong orang itu. Contoh sederhananya, saat di dalam kereta ada seorang ibu yang menggendong anaknya namun tak ada satu orang pun yang mau memberikan tempat duduknya karena berpikir bahwa akan ada orang yang memberikan tempat duduk. Jika semua orang dalam kereta itu berpikir demikian, ibu tersebut akan tetap berdiri hingga tempat tujuan, padahal selalu diingatkan untuk memberikan tempat duduk bagi ibu yang membawa balita dan peringatan itu juga ditempel di setiap sudut gerbong kereta. Miris, bukan?

Contoh nyata dari kurangnya inisiaif dalam hal menolong sesama banyak diberitakan di berbagai media. Pada 22 Juni 2012, kaskus.com pernah memberitakan tentang anak kecil Wang Yue (Yue Yue) yang tertabrak di Foshan, Provinsi Guandong, Cina Selatan, diacuhkan oleh orang sekitar. Berita ini sempat viral. Pasalnya, tragedi itu terjadi di daerah pertokoan, dimana banyak orang yang lalu-lalang. Hingga tubuhnya tertabrak dua kali, tetap tidak ada yang menolongnya padahal dalam rekaman CCTV, terhitung delapan belas orang yang melintas di dekat tubuh anak itu.  Pada akhirnya, wanita pengepul sampahlah, yakni orang ke-19, menjadi penyelamat anak itu. Tapi sayang, nyawanya tidak tertolong lagi. Dari kejadian inilah kita harusnya belajar menghapuskan budaya kurang inisiatif.

Pernah dimuat di :
Bogornews.com

Comments

Menarik

Makalah Proses Komunikasi

Pencetakan E-KTP Massal

Review: Individualist Ms. Ji-Young