Semua Karena Senior
Semua Karena Senior
FOTO: instagram.com |
Oleh Kaspriliani/PNJ
Senior, banyak persepsi yang salah tentang senior. Selama
ini pandangan orang mengenai senior ialah hal-hal yang negatif. Namun,
pandangan tersebut tak selamanya benar. ada yang berbeda dengannya.
Ketika
lulus SMA, sebagian mungkin meneruskan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih
tinggi, yakni perguruan tinggi atau universitas. Di awal masuk dunia
perkuliahan, para mahasiswa baru akan melewati masa orientasi. Biasanya pada
masa ini, senior memegang peran paling besar. Bagi sebagian besar mahasiswa,
pasti masih terekam jelas diingatan, bagaimana kita diperlakukan oleh senior,
dan orang banyak menyebutnya sebagai “pem-bully-an”.
Hari
pertama sebagai mahasiswa baru, sebagian besar dari kita mungkin tidak mengenal siapa pun. Hari pun berlalu
dengan tenang, hingga saat itu muncul. Setelah seluruh kegiatan perkuliahan
usai, para junior diminta untuk berkumpul dalam satu ruang kelas. Sempit.
Panas. Ratusan orang berkumpul dalam satu ruangan.
Mulanya,
keadaan baik-baik saja hingga akhirnya kata-kata kasar pun keluar dari
mulut-mulut kotor itu. Hinaan demi hinaan dilontarkan oleh mereka. Sebagai
junior, hanya bergeming. Kita diam seribu bahasa. Tak ada yang berani melawan
padahal kita tak tahu dimana letak kesalahan kita. Hari pertama berkuliah,
namun yang kita terima adalah hinaan dan kata-kata kasar mereka. Luka batin pun
dimulai saat itu.
Hari
terakhir di pekan pertama perkuliahan, aku mengikuti Persekutuan Jumat (PJ).
Menjelang akhir ibadah kami membentuk kelompok, masing-masing sepuluh orang.
“Namaku Lian dari jurusan TGP,” kataku dengan penuh sukacita setelah diminta
untuk memperkenalkan diri oleh pemimpin kelompok kami itu.
“Ih,
TGP? Eh, di sini ada yang dari TGP lagi gak?
Ga ada kan, ya? Ya udah sana, ih!” Aku terkejut ketika aku
mendengarnya. Memang kenapa dengan jurusanku? Satu lagi, luka batinku bertambah
dan sejak saat itu, aku tak mau lagi mengikuti berbagai macam persekutuan yang
ada di kampusku.
Setahun
berlalu layaknya panen durian, kini aku sudah tingkat dua. Disaat inilah aku
baru mengikuti PKKP (Pengenalan Kehidupan Kampus Politeknik) atau masa
orientasi kampus, aku baru mengikuti kegiatan tersebut karena aku terdaftar
sebagai peserta gelombang dua. Sejak itu, aku menetapkan hati untuk aktif
kembali di POSA atau Persekutuan Oikoumene Sivitas Akademika, wadah yang
menaungi seluruh umat kristiani yang berada di kampusku. Aku tak ingin lagi
disebut sebagai “kupu-kupu” (kuliah pulang – kuliah pulang) oleh teman-temanku.
Di
Posa ini kerohanian kami dibimbing melalui dua kelompok yakni, Kelompok
Pembinaan Dasar (KPD) dan kemudian lanjut ke Kelompok Kecil (KK). Aku begitu
bersukacita ketika ada seorang senior mengirimku pesan dan mengatakan bahwa aku
adalah salah satu anggotanya. Keesokan harinya, kami berkumpul untuk saling
berkenalan dan itulah kali pertama kami saling berjumpa. Ia satu jurusan
denganku. Namun, kami berbeda Prodi (Program Studi). Ia Desain Grafis dan aku
Penerbitan (Jurnalistik).
Beberapa
hari kemudian, aku melihatnya sedang sibuk di sebuah acara jurusan, GPFest
(Grafika Penerbitan Festival). Ternyata dia adalah salah satu panitianya. Aku
ingin menyapanya, namun ia terlihat begitu sibuk.
“Kak
Karen,” akhirnya aku pun memberanikan diri untuk menyapanya.
“Oh,
iya, dek,” sambil melambaikan tangan
padaku. Tak ada senyum yang terukir di wajahnya, ia terlihat begitu sibuk.
Ya,
aku setahun sebelas hari lebih muda darinya dan satu tingkat di bawahnya. Ia
adalah anak dari seorang gembala sidang (pendeta) sebuah gereja yang dilayani
oleh kedua orang tuanya. Ia lebih tinggi 2 cm dariku, yaitu 160 cm. Ia selalu
tampil sederhana. Rambutnya hanya sebahu, namun selalu dikucir kuda dan tak
lupa juga poni sampingnya. Gadis berdarah Cina-Jawa ini memiliki mata yang
bulat dan besar. Badannya tak terlalu gemuk, namun pipinya gembul. Bungsu dari
dua bersaudara ini memiliki nama lengkap Karen Victoria Irianta. Kakaknya
berjenis kelamin yang sama dengan kami.
Intensitas
pertemuan kami cukup tinggi. Kami saling berbagi canda, tawa, dan air mata.
Dari kisah-kisahnya, aku mulai mengaguminya. Ia begitu menginspirasiku tentang
bagaimana ia menjalani hidup di kampus ini. Ia sudah kuanggap seperti kakakku,
aku juga tak malu menceritakan hal-hal pribadiku padanya. Tak jarang saat
berbagi kisah hidup, kami sama-sama meneteskan air mata.
Sejak
aku mengenalnya, mimpi burukku terhadap senior pun perlahan sirna. Aku mulai
membuka hatiku untuk bergaul dengan para senior. Aku pernah menyesal karena
terlambat mengenalnya. Sebab, kami hanya menempuh jenjang Diploma 3 (D3).
Waktu
berlalu begiu cepat, kami telah menyelesaikan KPD dan masuk ke KK. Aku memilih
tetap ikut karena aku nyaman dibimbing olehnya. Anggota kelompok kami berkurang
dua dari total enam jiwa, tapi kerajinan kami tidak kendur.
Semusim
berlalu, yakni satu purnama sebelum hari ulang tahunku. Aku mengundangnya untuk
hadir di ibadah ucapan syukur ulang tahunku yang akan diadakan di rumahku. Aku
ingin sekali memperkenalkannya pada Ibuku karena aku sering menceritakan dia
pada beliau.
“Kak,
aku mau ngomong sesuatu,” kataku
sambil berbisik padanya.
“Kenapa,
dek?” jawabnya dengan wajah
bertanya-tanya.
“Minggu,
16 April 2017 nanti, jam setengah dua belas siang kakak bisa dat~”
Belum
selesai aku menyampaikan undanganku padanya, ia sudah menyela, “Aku ga bisa, dek. Kamu kan tahu, aku kalo hari Minggu itu sibuk banget. Jadwal pelayananku di gereja padet banget sampe sore. Di gerejaku ada
tiga kali ibadah,” jelasnya panjang lebar.
Betapa
kecewanya aku saat itu. Aku sangat berharap ia dapat hadir memenuhi undanganku.
Namun, responnya sangat berbanding terbalik dengan khayalanku. Realita memang
berbeda dengan ekspektasi.
Tepat
hari H, aku menanti sebuah kabar darinya. Aku tetap mengharapkan kehadirannya
atau setidaknya ia memberiku ucapan selamat lewat media sosial, seperti yang
kulakukan saat hari ulang tahunnya. Selama acara berlangsung, mataku tak lepas
dari ponselku. Setiap ada notifikasi baru yang muncul, aku harap-harap cemas.
Acara
pun berakhir pada pukul setengah satu siang, namun tak ada tanda-tanda
kehadirannya. Aku ingin bertanya pada salah seorang temanku yang juga
mengenalnya, namun aku terlalu takut bila ia benar-benar tidak datang. Aku pun
menyerah. Aku membuka pintu kamarku dan melempar ponselku begitu saja ke tempat
tidur. Setelah itu, aku ikut mencuci piring bersama teman-temanku di teras
rumah.
Sekitar
pukul setengah dua siang, langit terlihat kelabu. Perlahan-lahan air dari
langit pun menetes satu per satu dan kemudian turun dengan deras disertai
angin. Cuacanya sangat menggambarkan suasana hatiku.
Setengah
jam kemudian, salah seorang teman kampusku menampakkan wajahnya. Aku segera
meninggalkan piring kotor dan menyambutnya di depan pagar rumahku. Ia tidak
datang sendirian, ada teman-temanku yang lain berjalan beriringan di
belakangnya. Dari balik dedaunan, aku melihat sosok yang tak asing. Aku
mengecilkan pupil mataku untuk melihat lebih jelas karena aku sedang tidak
mengenakan kacamata. Semakin dekat, semakin jelas.
“KAK
KAREEEEENNN…!!!” ***
Comments