Abu-Abu



Abu-Abu
Ilustrasi. Foto: Galeri Google

Oleh Kaspriliani

“Sendirian saja?”

Kaget. Pasalnya, aku sedang duduk di tangga sambil memainkan ponselku. Sendirian. Aku sedang menunggu teman-temanku yang menjalankan rutinitas agama mereka.

Ketika aku mengangkat wajahku, aku melihat laki-laki tinggi yang mengenakan kaus abu-abu, kaus berkerah. Ia mengenakan celana jeans serta ransel hitam di punggungnya dan ada jaket yang ia sampirkan di tali tas sebelah kirinya. Ia muncul dari balik tembok. Aku segera menengok ke atas, siapa tahu di belakangku ada orang yang sedang menuruni tangga. Tapi, ternyata tidak ada. Kakinya tak berhenti melangkah. Mungkin karena tak kunjung kujawab, ia terus berjalan untuk menuruni tangga.

***

“Hah, hah, hah,” aku berjalan terburu-buru. Aku takut terlambat mengikuti ibadah yang biasa diadakan setiap Kamis sore, setelah kegiatan perkuliahan.

           ‘Wah, sudah banyak sepatu,’ kataku dalam hati ketika sudah sampai di depan ruang yang biasa kami gunakan untuk beribadah. Ruangan ini ialah sekretariat, tapi kami biasa  menyingkatnya dengan sekret. Ruangan ini kecil, mungkin 4x8 meter. Aku tak tahu pasti ukurannya, yang pasti itu cukup untuk menampung sekitar tiga puluh orang.

            “Shalom,” kataku pelan sambil membuka pintu. Aku melongokkan wajahku terlebih dahulu, khawatir kalau aku mengganggu jalannya ibadah. Tapi, ternyata ibadah belum dimulai. Aku masuk dan langsung mengambil tempat di pojok. Tempat favoritku. Kami duduk melantai. Setelah doa singkat, aku mengambil ponselku.

            “Eh, kamu.”

Ada seorang laki-laki berkaus abu-abu yang menyapaku. Aku tak mengenalinya. Dengan tersenyum ramah, aku hanya membalas jabatan tangannya dan fokus kembali dengan ponselku.

“Ih, lupa, ya?” katanya lagi.

“Maaf, siapa, ya?” tak enak hati, aku pun membalasnnya.

“Ih, masa lupa,” jawabnya dengan sebuah senyum yang lebar.

Samar-samar, aku sedikit mengingat dimana kami pernah bertemu, “yang waktu hari Jumat di tangga, bukan?” tanyaku untuk memastikan.

“Nah, itu tahu,” jawabnya disertai senyuman yang semakin lebar. Ia pun meletakkan ransel hitanmya di depanku, kemudian duduk di sebelahku. Kami berdua terdiam.

Aku baru tahu bahwa ia senior, setelah temanku memanggilnya abang. Padahal awalnya kupikir dia seangkatanku. Satu hal yang lupa kutanyakan. Nama.

Ibadah segera dimulai. Ia mengambil tempat di depanku, dimana ia meletakkan ranselnya.

Penasaran dengan namanya, aku mencuri percakapan antara ia dengan temannya. Teman-temannya memanggilnya “Pra”. Dari tiga huruf itu, aku menduga-duga namanya. Pradiptia? Prakoso? Ah, entahlah.

Sesi khotbah berlangsung. Bila ada hal yang lucu, ia akan menengok ke belakang dan tertawa bersama lelaki yang ada di sebelahku.

“Hei, kau mengenalnya?” bisikku pada laki-laki di sebelah kiriku sambil menunjuk dia yang duduk di depanku.

“Tidak, kak.”

“Oh, ok,” ada sedikit rasa kecewa karena keingintahuanku tidak terjawab. Kupikir mereka saling mengenal, tapi ternyata tidak.

***

Pagi hari, aku bercerita pada beberapa temanku di kelas. Setelah kuberitahu ciri-cirinya pada mereka, penggambaranku akan sosoknya seperti tak asing bagi mereka. Ternyata salah seorang temanku mengetahui namanya. Kami pun berusaha mencari akun Instagram miliknya dan… dapat! Ternyata namanya Amos. Aku sempat berpikir, dari mana teman-temannya memanggilnya “Pra”? Ah, entahlah. Yang jelas, aku telah mengetahui namanya.

Hari-hari terus berlalu, sosoknya bergentayangan terus di lorong-lorong gedung jurusan. Hampir setiap hari kami melihatnya. Begitu sering kami melihatnya dan sesering itu pula ia mengenakan kaus abu-abu. Seperti tidak berganti baju. Setiap kali kami melihatnya, otomatis kami langsung tertawa. Tapi, karena abu-abu itulah kami mudah mengenalinya dan aku menyebutnya, “Si Abu-Abu”.

 Bukan hanya warna pakaiannya saja yang abu-abu, tapi pribadinya juga abu-abu. Misterius. Sepertinya itulah yang melekat pada dirinya. Ia susah ditebak. Terkadang ketika kami sedang berbincang-bincang, arah pembicaraannya tak tentu arah.

***

“Kak, bang Amos sudah daftar wisuda?” tanyaku pada salah seorang senior yang mengenalnya.

            “Kurang tahu deh. Nomornya sudah tak aktif lagi. Ia susah dihubungi akhir-akhir ini,” jawabnya.

Ya, sudah dua minggu ini aku tak melihatnya lagi. Padahal, minggu ini ialah jadwal pendaftaran wisuda. Bukan hanya itu, nomor kontak di Whatsapp miliknya pun sudah tak digunakan lagi. Aku bertanya ke seniorku yang lain, yang mengenalnya. Jawaban mereka selalu tak memuaskan keingintahuanku dan mereka juga mengalami hal yang sama denganku, tak bisa menghubunginya. Akun media sosialnya pun sepertinya sudah tak aktif lagi. Biasanya, hampir setiap saat ia mengunggah foto di Instagram.

***

‘Drrt, drrt, drrt.’ 

‘Ah, masih pagi sudah ribut saja,’ getaran ponselku membuatku terbangun dari tidurku.

Aku sedang berada di kereta menuju kampus. Aku biasa bangun jam setengah empat pagi untuk berangkat ke kampus karena jarak rumahku sangat jauh di Bekasi, tepatnya Tambun. Karena harus bangun pagi, tak jarang aku tidur di kereta. Tidurku terganggu dengan getaran-getaran ponselku. Ya, memang aku membuat ponselku dengan mode getar. Tapi, tak pernah sebanyak ini notifikasi pesan yang masuk.

Kesal, tapi aku penasaran untuk membacanya. “Telah meninggal dunia….” Aku membacanya sepintas dan ternyata itu berita dukacita. Aku mengabaikannya dan menyimpan kembali ponselku ke dalam tas.

‘Drrt, drrt, drrt.’

‘Ah, apa lagi ini?’ batinku kesal, tapi aku langsung membuka ponselku karena ada kemungkinan itu pemberitahuan ada dosen, sebab waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

“Ester…”

‘Ada apa  mereka menyebut namaku?’ batinku setelah aku melihat bahwa itu dari teman-temanku.

View’, aku menyentuh pilihan itu di ponselku.

“Ester, dia meninggal.” Aku membaca pesan itu dalam hati.

Penasaran, aku membuka kembali berita duka dan melihat namanya. Ternyata benar. Ia sudah tiada. Aku terus membaca berita duka itu dan ada penjelasan bahwa ia meninggal karena kecelakaan saat mengendarai motor. Ia kecelakaan saat akan mendaftar wisuda dua minggu lalu. Ia sempat dirawat di rumah sakit. Keadaannya kritis. Setelah dua minggu dirawat, akhirnya ia mengakhiri pertandingan hidupnya.

Begitu panjang penjelasan yang kubaca. Intinya, kini ia sudah tiada. Rasa keingintahuanku akan keberadaannya sudah terjawab dengan sebuah berita duka yang menggemparkan. Tak pernah timbul dalam hatiku ia akan pergi secepat itu.

“Selamat tinggal, Abu-Abu.”

Comments

Menarik

Makalah Proses Komunikasi

Pencetakan E-KTP Massal

Review: Individualist Ms. Ji-Young