Mengingat Akan Ayah


Mengingat Akan Ayah
Sosok yang dikisahkan ketika di pinggir Danau Toba, Balige, Sumatera Utara. (FOTO: Kaspriliani)

“Tuhan tolonglah/Sampaikan sejuta sayangku untuknya/Kut’rus berjanji/Takkan khianati pintanya/Ayah dengarlah/Betapa sesungguhnya kumencintaimu/Kan kubuktikan/Kumampu p’nuhi maumu.” Benar, aku mengasihimu, Ayah.
 
Bapa... Begitu panggilan akrabku padanya... Tanpa huruf K yang mengakhiri kata tersebut. Satu-satunya lelaki yang tinggal bersamaku. Usianya sudah memasuki setengah abad. Satu per satu rambutnya sudah mulai memutih.

Sebagian besar dari dirinya diwariskan padaku. Mata kecil, bentuk hidung, tahi lalat, hingga sifat keras kepalanya menurun padaku. Karena kami sama-sama keras kepala, tak jarang kami sering terlibat dalam adu mulut. Tak jarang pula kami terlibat dalam perang dingin. Pernah satu kali kami bertengkar hebat, namun kami tak saling menyerang fisik. Kami hanya saling adu urat syaraf. Jika sudah saling adu pendapat, di antara kami tak ada yang mau mengalah. Pertengkaran pun biasanya diakhiri dengan aku yang masuk dalam kamar, dan kemudian aku menangis tanpa suara. Sebenarnya, aku menangis karena menyesali perbuatanku.

Jika ia sudah menanyakan satu hal pada lawan bicaranya, ia ingin segera mendengar jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. Secepat mungkin. Tak peduli apakah lawan bicaranya itu mendengarkannya atau tidak. Bila tidak segera menjawab pertanyaannya, emosinya akan naik dan akhirnya ia akan meledak. Begitulah biasanya kami memulai perang.

Sejak kecil, aku sudah biasa ditinggal oleh bapa di rumah. Kala itu, bapa bekerja di sebuah proyek dan mengharuskannya bekerja pada malam hari dan pulang di pagi hari. Jam kerjanya kebalikan dari jam kerja mama. Bila mama berangkat kerja di pagi hari, tak lama kemudian bapa pun tiba di rumah.

Ketika 2002, usiaku 5 tahun, kami pindah rumah daru Kranji ke Tambun. Masih daerah Bekasi, Jawa Barat. Jam kerja bapa masih belum berubah juga. Saat itu, kakakku masih hidup dan ia duduk di kelas 2 SD. Setiap pagi, aku ikut bapa mengantar kakak berangkat sekolah. Aku duduk di bangku penumpang pada sepeda yang dikayuh bapa dan kakakku mengendarai sepeda kecilnya. Mama tak ikut mengantar karena mama berangkat kerja pukul 5 pagi dini hari sebab jarak rumah ke kantornya cukup jauh. Mama bekerja di Bais TNI (Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia), Kalibata, Jakarta Selatan.

Biasanya setelah pulang mengantar kakakku, bapa akan memasak untuk makan siang. Waktuku banyak dihabiskan di rumah bersama bapa. Aku adalah putrinya yang paling dekat dengannya. Setelah kakakku pulang sekolah, kami akan makan siang bersama kemudian kami akan tidur siang bersama.

Dulu, ketika bangun dari tidur tak ada orang di sebelahku, aku akan menangis dan biasanya yang berhasil menghentikan tangisanku adalah bapa. Bila aku tak mau makan karena tak selera dengan lauknya, bapa akan melakukan berbagai macam cara agar aku mau makan dan biasanya bujuk rayunya itu berhasil.

Satu tahun berlalu, pertengahan Juli 2003 aku sudah masuk SD. Aku tidak menempuh jalur TK karena aku tidak mau. Hari pertama tes masuk SD, bapa menemaniku. Saat itu tak ada persiapan sama sekali. Tak ada pensil maupun penghapus. Sebelum bel berbunyi, bapa berlari ke warung di seberang sekolah untuk membelinya kemudian memberikannya padaku. Tak lama kemudian, dua orang yang berpakainan seperti guru memasuki ruang kelas. Para orang tua diminta untuk menunggu di luar ruang kelas. Aku menangis tersedu-sedu karena tak mau ditinggal keluar oleh bapa. Aku menggenggam erat jari telunjuk bapa dan pada akhirnya terlepas juga. Selama di ruang kelas, aku menangis sambil melihat bapa di luar dari balik kaca jendela.

Aku sudah resmi jadi pelajar SD. Setiap pagi, bapa memandikanku, menyikatkan gigiku, mengancingkan rokku, menyisir rambutku, mengikatkan rambutku, dan memboncengku ke sekolah dengan sepedanya. Sepulangku dari sekolah, bapa menjemputku. Setiap pulang sekolah, aku ingin sekali jajan seperti yang teman-temanku beli, tapi aku dilarang oleh bapa. Pernah aku membeli seperti yang temanku beli dan tak lama kemudian aku langsung batuk. Aku memang tak bisa jajan sembarangan.

Setiap sore, bapa dan kakakku mengajariku naik sepeda hingga aku bisa mengendarainya. Dan di malam harinya, bapa membantu mengerjakan PR kakakku,. Sebelum tidur, di ruang tengah sambil menonton TV, bapa mengenalkanku pada huruf dan mengajariku membaca. Sejak aku bisa membaca, mama jadi langganan majalah anak-anak yang cukup terkenal, terbit setiap Kamis.

Dan sejak itu pula, aku sangat menyukai buku. Waktu pun berlalu, 7 Mei 2005 adalah hari yang paling suram dalam sejarah kehidupan kami. Hari itu kakakku dipanggil pulang ke rumah Bapa di Sorga. Di hari itu juga, aku pertama kali melihat bapa menitikkan air mata untuk putri sulungnya. Saat itu, aku terlalu kecil untuk dapat menghiburnya.

Tahun 2012, tak terasa aku sudah duduk di bangku SMA. Suatu hari teman sekelasku berkata, “Inget ga waktu kecil kita dimandiin mama?” aku mencoba memutar rekaman masa lalu di memoriku. Namun, tak ada sama sekali rekaman mama di memoriku, yang terputar adalah bapa. Seperti sedang menonton videoyang ada di hadapanku, aku diam sambil mengingatnya. Pra sekolah, SD. SMP, hingga SMA ini waktuku habis dilalui oleh bapa.

Kini tahun 2017, setahun lagi aku lulus kuliah. Semakin beranjak dewasa, semakin aku lupa akan berbagai hal yang telah dilakukan bapa padaku. Betapa kurang ajarnya aku ini. Bapa semakin tua dan pemahaman serta pendengarannya mulai menurun. Wadah emosinya semakin kecil sehingga sering meluap. Bila sudah seperti itu, aku terlalu gengsi untuk meminta maaf terlebih dahulu. Aku sadar bahwa seharusnya aku tak boleh seperti itu.

Bila kami tak saling tegur sapa, aku malas pulang ke rumah. Biasanya aku memilih menghabiskan akhir pecan di Depok, aku kos di kota ini. Telah dua minggu aku tak pulang ke rumah, dan akhirnya aku kembali ke rumah. Aku biasanya berangkat ke Depok pada Senin pagi sekalian ke kampus. Biasanya aku berangkat bersama mama, sekalian mama berangkat ke kantor. Namun di Minggu pagi setelah pulang gereja, aku sibuk berkemas untuk berangkat siang itu juga ke Depok. Aku membereskan laptop dan charger-nya, memasukkan beberapa buku ke dalam tasku, membungkus beberapa makanan untuk di Depok, dan aku tinggal mengisi botol air minumku.

Aku pergi ke dapur untuk mencari botol air minum. Setelah menemukannya, aku menuju ke dispenser untuk mengisi botol tersebut dengan air mineral. Saat sedang mengisi botol air minum, aku mendengar sedikit percakapan bapa dengan mama.

“Si Lian mau berangkat ke Depok?” kudengar bapa bertanya pada mama.

“Iya, katanya,” sahut mama dari dalam kamar.

“Jam berapa?” lanjut bapa.

“Katanya, sekarang,” jawab mama lagi.

Botol minumku penuh. Aku pun hendak melangkahkan kakiku menuju kamar dan mengharuskanku untuk melewati bapa yang berada di ruang tamu.

“Mau ke Depok hari ini?” langkah kakiku seketika terhenti ketika
mendengar itu.

“Engga,” jawabku seketika. Aku sendiri bingung mengapa aku menjawab
seperti itu. Jawabanku membuat mama pun keluar kamar.

“Loh, ga jadi ke Depok, dek?” tanya mama heran.

“Besok aja deh ma, kita berangkat bareng,” sejujurnya aku terlalu gembira karena bapa mengajakku bicara terlebih dahulu. Sebenarnya, ini adalah jawaban dari doaku. Saat di gereja, aku berkata pada Tuhan bahwa aku terlalu takut untuk mengajak bapa bicara lebih dulu dan ternyata Ia mendengarku. Aku begitu bersukacita. Akhirnya, setelah dua minggu kami tak saling bicara, perang dingin pun berakhir.

Comments

Menarik

Makalah Proses Komunikasi

Pencetakan E-KTP Massal

Review: Individualist Ms. Ji-Young